ALAT TRANSPORTASI primitif seperti enggan beranjak dari Sulawesi Tenggara, provinsi yang terbentuk tahun 1964 dan diperingati setiap tanggal 27 April. Setidak-tidaknya di era 1970-an hingga 1980-an, di sebagian wilayah provinsi ini masih menggunakan kuda dan rakit sebagai sarana dan prasarana transportasi.
Sementara di beberapa wilayah yang lain berangsur muncul alat-alat pengangkutan modern, kendati operasi pelayanannya terbatas dan tersendat. Belum optimal dari aspek aksesbilitas (keterjangkauan), keteraturan, kenyamanan, dan kecepatan. Pesawat Garuda jenis Dakota DC-3, misalnya, harus terbang dua setengah jam pada rute Makassar – Kendari.
Pesawat tersebut dioperasikan Garuda Indonesia Airways (GIA, Garuda) ) dan dipatok mendatangi Bandar Udara Wolter Robert Monginsidi (kini telah berubah nama menjadi Haluoleo), dua kali dalam seminggu.
Sarana dan prasarana transportasi laut masih mengandalkan kemahiran dan bakat alam para pelaut yang diwariskan leluhur. Motorisasi armada pelayaram rakyat harus diakui telah dilaksanakan pada pertengahan 1970-an. Akan tetapi soal kenyamanan dan kecepatan tetap merupakan kebutuhan yang langka. Bahkan, kegiatan transportasi dalam rangka mobilitas orang maupun barang, setiap saat terancam bahaya kecelakaan laut akibat cuaca buruk dan ganasnya ombak.
Patut diingat bahwa era motorisasi perahu rakyat dilakukan secara nasional atas prakarsa Presiden Soeharto sendiri mengingat fungsi dan peran pelayaran rakyat sangat besar dalam mendukung pemerataan pembangunan hingga ke seluruh pelosok pulau-pulau kecil dan terpencil di Nusantara. Pada bulan Juli 1976, Presiden memanggil sejumlah pimpinan Pusat Pelayaran Rakyat (Pelra) ke Bina Graha, di antaranya termasuk Drs H La Ode Manarfa sebagai Ketua Umum Pelra. Ketika itu Pak Harto secara simbolik menyerahkan kredit 100 motor diesel untuk perahu yang berkekuatan 30 sampai 100 PK.
La Ode Manarfa adalah tokoh senior Sultra yang ketika itu menjadi anggota DPR/MPR. Putra Sultan Buton terakhir, La Ode Muhammad Falihi. ini dikenal dekat dengan rakyat Buton yang umumnya hidup sebagai pelaut. Dengan perahu layar kecil bermuatan 30 ton pelaut Buton mampu mengarungi samudera.
Maka tidak heran jika Manarfa mendapat kehormatan dari Kepala Negara untuk tampil ke depan memegang panji-panji gerakan moderninasi pelayaran rakyat. Yaitu proses perubahan berkelanjutan dari penggunaan layar yang mengandalkan tenaga angin ke mesin yang mampu mengatasi persoalan jarak dan waktu.
Sementara itu, perspektif transportasi darat justru lebih getir. Akses jalan sebagai prasarana transportasi darat merupakan barang langka pula bagi Sultra. Kondisi transportasi di Kota Kendari haanyalah sebuah contoh. Ibukota provinsi dan juga pusat pemerintahan kabupaten, itu memiliki hanya satu jalur jalan. Satu-satunya ruas tersebut membelah kota mulai dari mulut pelabuhan hingga ke arah batas kota.
Ada jalan poros bak sabuk yang menghubungkan pantai timur jazirah Sulawesi Tenggara di Kota Kendari dengan pantai barat jazirah itu di Kota Kolaka. Tetapi ruas ini masih sangat menyengsarakan. Akses Kendari – Kolaka sepanjang 173 kilometer itu biasa ditempuh selama 2-3 hari dengan kendaraan roda empat. Pengalaman penulis sendiri, ditempuh dua hari dalam sebuah perjalanan ke Makassar pada tahun 1973.
Kondisi badan jalan masih berupa tanah, yang berubah menjadi kubangan pada saat hari hujan. Rintangan juga biasa berupa pohon tumbang yang melintang di tengah badan jalan. Penumpang, sopir, dan kernet harus bergotong royong untuk mengatasi rintangan saat melalui medan berat seperti itu.
Ketika poros Kendari-Kolaka pada akhirnya mulai tersentuh aspal, jaringan jalan di tempat lain masih berupa medan berat. Liar! Namun, tangan-tangan ajaib berbicara lain. Dalam kondisi medan seperti itu mobilitas orang dan barang tetap terjadi, meski tentu saja dengan tempo yang lambat dan tersendat. Gejala tersebut membuktikan bahwa dinamika sosial dan ekonomi tidak bisa terbendung oleh keterbatasan infrastruktur.
Pertambahan penduduk dan kebutuhan untuk melakukan mobilitas terkait kegiatan produksi, jual beli dan perdagangan, kegiatan pendidikan, kesehatan, serta pergerakan penduduk ke kota dan sebaliknya merupakan jawaban mengapa tembok kesulitan transportasi bisa jebol. Transportasi menjadi kebutuhan bersifat sangat strategis bagi manusia dalam upaya mengejar dan mencapai kualitas hidupnya.
Pemerintah tak hentinya berupaya membangun infrastruktur untuk menciptakan kemudahan masyarakat melakukan aktivitas. Masalahnya, pembangunan tidak semudah membalikkan tangan. Keterbatasan sumber daya keuangan membuat pembangunan tak mungkin menyelesaikan banyak persoalan sekaligus. Oleh karena itu, sebagaimana sektor-sektor pembangunan lainnya, penyediaan infrastruktur jalan juga harus dilakukan secara bertahap.
Rakyat mesti bersabar dan berdamai dengan keterbatasan itu. Maka budaya rakit pun tetap dipertahankan. Rakit berfungsi menyeberangkan kendaraan bermotor dan orang pada alur-alur sungai dan pantai perairan dangkal yang belum memiliki sarana pelabuhan.
Era hewan kuda sebagai alat transportasi masih eksis pula. Alat angkutan kuda masih terseok-seok di Kabaena, pulau penghasil gula merah dan kerbau di Sultra. Masyarakat yang tak memiliki hewan kuda, mau tidak mau harus menggunakan otot dalam melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk perjalanan dan pekerjaan mengangkut barang dari dan ke mana saja.
Sekitar satu dekade sebelum Orde Baru tumbang, era kuda maupun rakit akhirnya lenyap juga dari dunia transportasi Sultra. Namun demikian tidak berarti infrastruktur jalan sudah dalam kondisi baik. Masih sedikit ruas jalan yang dapat dilalui dengan nyaman karena telah dilapisi aspal. Jalan nasional pun tidak semua terawat baik, apalagi jalan provinsi dan kabupaten. Jalan desa lebih menyedihkan.
Pada dasarnya, daerah kabupaten dan kota di Sultra telah terakses sistem transportasi darat maupun laut. Beberapa celah laut di antara daratan dan pulau, atau celah antara dua pulau telah terhubung dengan sistem transportasi darat melalui angkutan penyeberaangan kapal feri sebagai jembatan terapung.
Ibukota provinsi yang terletak di daratan besar jazirah Sulawesi Tenggara telah terkoneksi dengan kota-kota kabupaten di wilayah kepulauan melalui lintas penyeberangan kapal feri Torobulu – Tampo, dan Wara – Bau-Bau. Konektivitas Kota Kendari dengan Makassar sebagai kota dagang terbesar di kawasan timur, juga telah terbangun dengan baik. Hubungan darat kedua provinsi tersebut dilakukan melalui jembatan terapung pada lintas feri Kolaka – Bajoe.
Transportasi udara berkembang lebih signifikan. Perkembangan ini nyaris tak terpengaruh gonjang-ganjing politik pasca reformasi yang membuat pambangunan berjalan stagnan hampir di semua sektor. Bandara Wolter Monginsidi menjelang tahun 1980-an telah melayani penerbangan pesawat jet jenis Fokker-27 atau Fokker-28. Kemudian memasuki era 1990-an, pesawat berbadan lebar jenis boeing menggantikan pesawat lebih kecil jenis Fokker tadi.
Bahkan, bandara perintis Betoambari di Bau-Bau juga mulai dioperasikan dengan menggunakan pesawat kecil. Kolaka dan Wakatobi tak ketinggalan. Melalui lobi-lobi intensif Wakil Kepala Dinas Perhubungan Sultra di awal tahun 2000-an, Hado Hasina, pemda setempat diizinkan membangun Bandara Tangketada di Kolaka, dan Bandara Matahora di Wakatobi.
Seperti disebutkan di atas, kegiatan pembangunan di Indonesia mengalami stagnasi pasca reformasi. Kerusakan ekonomi akibat resesi, munculnya bencana alam secara bertubi-tubi, konflik sosial dan gejala desintegrasi, serta berkembangnya demokrasi liberal transaksional yang berujung politik saling menjatuhkan, semuanya membuat energi bangsa terkuras habis.
Menjelang 20 tahun masa gonjang-ganjing itu, rakyat memutuskan memilih Presiden dari orang biasa-biasa, bukan jenderal, bukan pemimpin partai, bukan pula orator, dan juga bukan ahli propaganda. Secara politis dia lemah tetapi memiliki kekuatan ini: komitmen untuk bersungguh-sungguh melanjutkan pembangunan, semangat kerja keras, dan memiliki integritas serta dedikasi yang tinggi. Dialah Joko Widodo alias Jokowi, mantan pengusaha mebel yang melesat menjadi walikota, gubernur, dan kemudian Presiden Republik Indonesia ke-7.
Presiden Jokowi mewujudkan komitmennya. Di tengah kegaduhan politik dan caci maki yang terus membayangi pemerintahannya, Jokowi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla melanjutkan pembangunan yang menggelegar ke seluruh pelosok negeri. Perbaikan dan rehabilitasi infrastruktur adalah prioritas sambil membangun proyek-proyek baru, masih di bidang infrastruktur. Hasilnya pun mulai kelihatan dan dirasakan rakyat. Perbaikan dan rehabilitasi jaringan irigasi, misalnya, telah menghentikan impor beras. Artinya, swasembada pangan (beras) telah tercapai kembali seperti di zaman Pak Harto.***
Filed under: Opini | Leave a comment »